Agar Hari Esuk Tidak Lebih Buruk…
Minggu, 22 Juni 2014
0
komentar
Dalam
lima tahun terakhir beban bunga itu mengalami pertumbuhan rata-rata 8
%, yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi kita yang rata-ratanya
hanya 6 %. Ingat bahwa uang sebesar Rp 136 trilyun dan mengalami
pertumbuhan rata-rata 8 % ini baru untuk membayar bunga saja ! lha terus pokok pinjamannya seperti apa ? akan dibayar dengan apa ?
Dalam
konteks negeri ribawi, nampaknya tidak ada konsep untuk membayar pokok
hutang yang jelas. Hutang bisa terus menggelembung asal masih bisa
membayar bunganya – mungkin begitu pemikirannya. Hal ini juga nampak
dari pembiayaan negara kita untuk tahun 2014 yang saya baca dari laporan
resmi tersebut di atas.
Ketika kita ngos-ngosan
sekedar untuk membayar bunga pinjaman yang nilainya mencapai Rp 136
trilyun tersebut, pada saat yang bersamaan kita meminjam lagi dengan
jumlahnya yang hampir 2 kali lipat. Tahun 2014 ini kita akan meminjam
sebesar Rp 263 trilyun lagi untuk membiaya belanja negara kita.
Lantas to be realistic,
apakah bisa negeri ini membayar pokok hutangnya dan kemudian
menghindarkan pembiayaan ribawi untuk belanja negaranya ? ingat bahwa
pinjaman ribawi itu mengalir sampai jauh, sampai gaji-gaji pegawai dan
pejabat dari pusat sampai daerah, dari eksekutif, judikatif sampai
legislatif – semuanya bercampur baur dengan riba.
Jadi
riba memang harus dihentikan bila kita ingin hari esuk yang lebih baik,
tetapi bagaimana caranya ? dari mana sumber-sumber dana untuk membiaya
belanja negeri ini ?
Negeri
ini memang bukan atau belum menjadi negara Islam, tetapi tidak ada
salahnya belajar dari negeri Islam – khususnya di awal pemerintahan
Islam terbentuk di Madinah yang kemudian dilanjutkan pada era-era
sesudahnya. Ada sejumlah sumber pendanaan yang sangat besar untuk
memakmurkan rakyat tanpa melibatkan hutang dan tanpa bersandar
berlebihan pada pajak – yang buntutnya menjadi beban rakyat juga.
Mari kita teliti satu per satu beberapa sumber pendapatan atau pembiayaan negeri Islam yang penting
– yang sekiranya cocok untuk mengatasi problem pendapatan kita saat ini
– yaitu problem pendapatan yang tidak cukup untuk membiayai belanja.
Pertama adalah ghonimah
atau pendapatan dari perang. Dasarnya adalah surat Al-Anfaal 41 dimana
secara spesifik menyebutkan 1/5 dari ghanimah adalah untuk Allah dan
RasulNya. Di jaman ini berarti ini untuk negara yang bisa
dipakai untuk menutupi berbagai keperluannya. Tetapi karena negeri ini
tidak sedang berperang dengan negeri lain, maka pendapatan dari ghanimah ini tidak ada untuk saat ini.
Kedua adalah fai’ yaitu
pendapatan dari penaklukan negeri lain tanpa melalui peperangan,
dasarnya adalah surat Al-Hasr ayat 6 dan 7. Seluruhnya adalah untuk
Allah dan RasulNya, keluarga Rasul, anak yatim, orang miskin dan orang
dalam perjalanan. Berarti ini juga untuk negara yang bisa dipakai untuk
membiayai kebutuhan-kebutuhannya terutama untuk mensejahterakan rakyat.
Tetapi lagi-lagi, kita tidak sedang menaklukkan negeri lain tanpa
peperangan – jadi untuk saat ini pendapatan dari fai’ ini juga tidak ada.
Ketiga adalah kharaj,
yaitu pajak atau tepatnya sewa atas tanah-tanah yang dikuasai oleh kaum
muslimin – melalui perang ataupun tidak – tetapi tanah tersebut tetap
digarap oleh non-muslim. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wasalllam atas tanah-tanah Fadak, Khaibar
dan eks tanah Banu Nadhir. Pendapatan kharaj dari tanah-tanah tersebut dipakai untuk membiayai perang, menyantuni fakir miskin, orang dalam perjalanan dlsb.
Hal
yang sama dilakukan ketika di jaman Khalifah Umar bin Khattab banyak
melakukan penaklukan demi penaklukan. Tanah-tanah Iraq, Syria, Mesir
dlsb. yang ditaklukkannya – tidak kemudian dibagi sebagai pendapatan ghanimah. Tanah-tanah tersebut menjadi milik pemerintahan kaum muslimin dan tetap digarap pemiliknya semula, tetapi mereka membayar kharaj ke pemerintahan Islam.
Kita memang bukan negeri Islam dan tidak memiliki tanah kharajiyah
ini, tetapi negeri ini punya banyak lahan yang tidak atau kurang
produktif – atau menggunakan istilah Al-Qur’an adalah tanah yang mati.
Tanah-tanah seperti ini ini tetap milik negara dan sebenarnya bisa
disewakan saja ke siapa saja yang bisa memakmurkannya – pendapatan sewa
inilah yang bisa mengambil dari inspirasi kharaj dari negeri muslim di masa lampau.
Pendapatan
dari menyewakan lahan kepada yang bisa memakmurkannya ini bisa menjadi
amat sangat besar bagi negeri ini. Seorang teman saya yang sangat credible
karena dia kepala cabang Bank Indonesia di Riau, dia pernah menghitung
bahwa seandainya di lahan-lahan sawit yang mencapai 2.5 juta hektar di
provinsi tersebut – dipakai untuk menggembala domba saja, maka ada
potensi ekonomi yang nilainya mencapai Rp 1,000 trilyun dari aktifitas
satu ini saja !
Padahal
konon – menurut sata salah satu capres – ada hutan rusak yang luasnya
77 hektar di negeri ini. Lahan seperti ini bisa disewakan ke siapa saja
yang sanggup memakmurkannya. Ketika lahan-lahan tersebut bener-bener
bisa dimakmurkan, maka bisa dibayangkan potensi ekonominya. Dari
pendapatan memakmurkan 77 juta hektar hutan rusak ini saja, menjadi
sangat mungkin negeri ini punya sumber dana cukup untuk melunasi
hutang-hutangnya dan membebaskan diri dari riba. Dari Al-Qur’an
insyaAllah sudah ada ada blue print-nya untuk memakmurkan
lahan-lahan yang mati ini sekalipun ! Bahkan operasionalisasi teknisnya
sudah saya kumpulkan dalam dua buku Kebun Al-Qur'an dan The Mindset.
Keempat adalah zakat, namun sumber pendapatan yang satu ini unique
sifatnya karena penggunaannya sudah ditentukan dalam Al-Qur’an surat
Al-Taubah ayat 60 yaitu untuk fakir, miskin, amil zakat, mualaf yang
sedang dibujuk hatinya kedalam Islam, membebaskan budak, orang yang
berhutang , untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang dalam
perjalanan.
Meskipun
sifatnya hanya titipan untuk dikelola dan disalurkan kepada 8 yang
berhak tersebut, zakat yang dikumpulkan dan disalurkan dengan baik juga
akan sangat meringankan beban yang harus ditanggung negara.
Kelima adalah Waqf, mirip dengan zakat – waqf bukanlah
pendapatan bagi negara. Umumnya kegunaannya sudah spesifik untuk
kepentingan umum seperti rumah sakit, pasar , bahkan jalan raya dan
berbagai fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat di jaman modern ini.
Lagi-lagi meskipun bukan pendapatan negara, tetapi negara akan sangat diringankan bebannya bila kesadaran masyarakat untuk ber-waqf secara massif tumbuh.
Yang
sudah kita jalankan di komunitas kami misalnya, ketika kami sakit –
kami tidak menuntut pemerintah untuk menyantuni kami – bahkan kami
berusaha menghindar dari ini karena keraguan kami atas obat yang
diberikan dan pengelolaan dananya yang masih ribawi.
Lantas dengan apa kami berobat ?, insyaAllah dengan obat-obat yang diproduksi dengan dana waqf komunitas
cukup bagi kami. Kalau inipun tidak cukup, insyaAllah kami masih bisa
ber-taawun dengan sesama untuk memikulnya. Solusi ini kami sebut TAWAF, Taawun wa Waqf – meskipun masih sangat kecil tetapi sudah bukan lagi sekedar wacana !
Untuk
sekolah anak-anak kami, kami-pun tidak minta dibantu satu sen-pun dari
dana pemerintah. Gedung-gedung dan guru-guru kami insyaAllah cukup
dibiayai dengan waqf dan
infaq dari para mukhsinin di komunitas kami. Jadi kami tidak minta
bagian sedikitpun dari anggaran pendidikan yang sangat besar yang
dikeluarkan oleh pemerintah !
Bayangkan kalau hal ini dilakukan rame-rame oleh masyarakat Indonesia, Waqf dan
infaq-nya sudah cukup untuk mengatasi berbagai kebutuhan dan persoalan
yang ada di masyarakat. Barangkali ini adalah salah satu bukti bahwa
bila penduduk negeri beriman dan bertaqwa maka Allah pasti bukakan pintu
barakah dari langit dan dari bumi (QS 7:96) itu !
Dengan
lima hal tersebut di atas, insyaAllah sumber-sumber pendanaan untuk
negeri ini amat sangat cukup – tanpa harus membebani generasi ini dan
generasi anak cucu kita dengan riba – yang membuat hari esuk kita lebih
buruk dari hari ini – naudzublillahi min dzaalik !
Bila
yang lima hal tersebut belum juga cukup, baru ulama mengijinkan juga
pajak kontemporer – yaitu pajak seperti yang diberlakukan oleh
pemerintah saat ini. Tetapi ini bersyarat yaitu penggunaannya harus
sangat jelas dan penarikannya harus adil. Tidak boleh ada pajak yang
tidak jelas penggunaannya apalagi bila sampai pajak itu disalah
gunakan/dikorupsi oleh oknum-oknumnya.
Maka menjadikan hari esuk lebih baik itu ada jalannya yang sangat jelas – ceto welo-welo -
terang benderang seperti terangnya siang hari. Lantas mengapa kita
memilih hari esuk yang lebih buruk dengan riba ? dengan pemerintahan
yang biasa-biasa saja yang hanya akan melanjutkan tradisi ribanya ?
mengapa tidak kita gunakan rame-rame suara kita untuk memberikan
tuntutan agar siapapun yang kita dukung – harus peduli masalah eliminasi
riba ini.
Kalau
tidak kita gunakan suara umat ini untuk melindungi generasi dari trend
hari esuk yang memburuk karena riba, lantas siapa yang akan
memperbaikinya kelak ? Kalau bukan kita, siapa lagi ? kalau tidak
sekarang, kapan lagi ?
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Agar Hari Esuk Tidak Lebih Buruk…
Ditulis oleh Gerai Dinar Purwakarta
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://geraidinarpurwakarta.blogspot.com/2014/06/agar-hari-esuk-tidak-lebih-buruk.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Gerai Dinar Purwakarta
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar